A. Hakekat Sastra Lisan Samawa (lawas)
Kata lawas dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia artinya ‘ luas, melawas luas, lapang, lega ‘.[1]Jika
dikaitkan dengan ber-lawas dalam masyarakat Samawa (balawas) yang
menunjukkan tentang kegiatan menyampaikan lawas yang terkait dengan
suasana hati yang lapang dan lega. Dengan ungkapan lain, lawas adalah the
human creation that created and expressed by languange ; by writing or
oral that risen the happiness and sadness in the human seul (ciptaan
manusia yang dilahirkan dan dinyatakan dengan bahasa, baik lisan maupun
tulisan yang menimbulkan rasa keindahan dan keharuan dalam lubuk jiwa
manusia).[2]
Menurut Sumarsono dkk. dalam Kamus Sumbawa-Indonesia terbitan Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, lawas adalah sejenis puisi tradisional khas Sumbawa, umumnya terdiri dari tiga baris, biasa dilisankan pada upacara-upacara tertentu.[3]
Budayawan Sumbawa Dinullah Rayes menjelaskan bahwa, lawas pada mulanya
berinduk pada bahasa Sumbawa yang tidak bisa dideteksi kapan mulai
tumbuh/hadir ditengah masyarakat. Namun, kehadirannya dalam kehidupan
masyarakat Samawa, berawal sebagai alat ekspresi batin manusia yang
diliputi oleh rasa haru, sendu gunda-gulana, mungkin disebabkan oleh
musiba atau datangnya marabahaya yang mengancam hidupnya, maka untuk
menanggulangi/menghibur dicurahkan perasaannya dalam bentuk kata-kata.
Ucapan-ucapan itu tampak menjadi sebuah kekuatan dalam upacara untuk
mengusir unsur-unsur yang menimbulkan rasa marabahaya.[4]
Tukang pembuat lawas, H. Maswarang mengatakan bahwa, lawas adalah
syair-syair yang ditembangkan sebagai bentuk pengungkapan perasaan hati
dalam bentuk cinta, sedih, kritik, nasehat, dan sebagainya.[5]
Mustakim
Biawan mengatakan bahwa, lawas disampaikan secara lisan, sehingga
menjadi begitu akrab dengan masyarakat, karena sudah menjadi bagian dari
mereka mengekspresikan isi hatinya, apalagi disampaikan dengan cara
melagukan.[6]
v Lawas tidak memiliki pola tertentu (apakah bersajak a-a-a, aa-b,a-bb).
v Lawas Samawa difungsikan
untuk mengekspresikan batin manusia yang diliputi oleh rasa haru, sendu
gunda-gulana, mungkin disebabkan oleh musiba atau datangnya marabahaya
yang mengancam hidupnya, maka untuk menanggulangi/menghibur dicurahkan
perasaannya dalam bentuk kata-kata. Ucapan-ucapan itu tampak menjadi
sebuah kekuatan dalam upacara untuk mengusir unsur-unsur yang
menimbulkan rasa marabahaya.[7]
Lawas juga difungsikan untuk mengungkapan perasaan hati yang artistik
dalam bentuk cinta, sedih, kritik, nasehat, dan sebagainya.[8] lawas berperan sebagai alat perekam peristiwa, juga merupakan media komunikasi dengan manusia lainnya.
v Tujuan penciptaan lawas
adalah untuk memberikan pandangan/cerminan kepada masyarakat Samawa,
bahwa dalam lawas terdapat nilai (nasehat), pandangan hidup,
kepercayaan, cara berfikir, dan nilai budaya (etnis Samawa) yang patut
diteladani oleh masyarakatnya, baik dalam hubungannya dimasa lalu, masa
sekarang, maupun untuk masa yang akan datang.
B. Jenis Lawas Samawa
Karya
sastra tau Samawa seperti balawas, pada hakekatnya adalah puisi yang
dilagukan. Lawas itu lahir dengan berbagai cara, ada yang dilagukan
sendiri, ada pula secara bepasangan atau bermain-main dalam suatu
kempulan. Bila diiringi “rebana kebo” (rebana besar) dengan memakai “ulan” (melodi) anosiyep (sebelah matahari terbit) dinamakan sakeco. Bila diiringi “rebana ode” (rebana kecil) dengan “ulan Taliwang” dinamakan langko. Bila diiringi seruling (sarune) dinamakan bagandang. Jika ditambahkan dengan koor “gero” disebut saketa.[9]
Ada bermacam-macam lawas berdasarkan kelompok umur :
a. Sastra lisan (lawas) anak-anak (tau ode) yang mengedepankan dunia anak-anak yang penuh kegembiraan.
Contoh : Ma tunung andi ma tunung
Meleng tunung kubeang me
Jangan jadi kembo kopang
(Mari tidur adik marilah tidur
Bangun tidur kuberi nasi
Lauk dari susu kerbau yang panas)
b. Sastra lisan (lawas) muda-mudi (taruna-dadara)
Berkisar
sekitar perkenalan, percintaan, berkasih-kasihan, perpisahan, beriba
hati. Lawas ini, biasanya dilantunkan saat bertemu jejaka dan gadis
ketika menanam padi, saat memotong padi di sawah, dikala menonton
keramaian kerapan kerbau, dan dalam permainan barempuk (bertinju). Di
sinilah terjadi pertautan batin, memendamkan perasaan, maka terjadilah
kelumrahan, seperti tercermin pada lawas
di bawah ini :
di bawah ini :
Ajan sumpama kulalo
Kutarepa bale andi
Beleng ke rua e nanta
(seandainya aku bertandang
Mampir di rumah adinda
Adakah gerangan belas kasihan)
Malalo kau e surat
Bawa salam doa kaku
Bada ling ada rasate
Bawa salam doa kaku
Bada ling ada rasate
(pergilah suratku
Bawa salam dan doaku
Sampaikan bahwa aku mencintainya)
Rasate kaku andi e
Ku potret kau kuni po
Ya timal nonda ku gita
Ku potret kau kuni po
Ya timal nonda ku gita
(keinginanku wahai adinda
Seharusnya aku memotretmu
Sebagai pengganti dikala aku tidak melihatmu)
Ajan mu gita rua ate
Lit rea ada si sisi
Ko kau no kuto sanga
Lit rea ada si sisi
Ko kau no kuto sanga
(seandainya kamu mengetahui isi hatiku
Lautan yang luas pasti bertepi
Tetapi perasaanku padamu, tiada bertepi)
Tingi mara palaning re
Nongka ku ngasan baruak
Ku roa rari ku kawa
Nongka ku ngasan baruak
Ku roa rari ku kawa
(tinggi seperti batang ilalang
Aku tidak merasa letih mendaki
Ku mau karena kuyakin)
Petang sarawi kuipi
Sipu ku kamata rua
Bato mo batepang dating
Sipu ku kamata rua
Bato mo batepang dating
Datang kusangangkang ruaKutulang kemas katawa
Andi no bosan ku tulang
Andi no bosan ku tulang
(ku datang menghadapkan wajah
Dirimu, kau tersenyum ceria
Adinda tidak bosan kutatap)
Bua no bosan ku tulang
Manang mara ka tu pasuk
Tokal mara ka tu antin
Ku tulang bungkun angkang si
Manang mara ka tu pasuk
Tokal mara ka tu antin
Ku tulang bungkun angkang si
Bua ku tokal barangkang
Ku buya rua ling ate
Ada ke nasib ya kompal
Ku buya rua ling ate
Ada ke nasib ya kompal
c. Sastra lisan (lawas) orang tua (tau loka)
berintikan pendidikan islam (nasihat agama) dan tasawuf falsafi. Dalam
hal ini menyelami lubuk hati orang tua yang bersifat didaktis berisi
pelajaran dan sebagian lagi berintikan ajaran agama islam. Hal ini,
dikarenakan orang tua pada umumnya memang lebih senang dengan syair yang
bernuansa nilai keagamaan, seperti mengingatkan kewajiban beribadah,
menyebut kematian, mengagungkan Allah, dsbnya.
Contoh : Ada intanku samodeng
Kusangisi kotak mesir
Ya timal umak rampek ban
(ada intanku sebutir Kusimpan dalam kotak mesir Penantang ombak penghempas papan)
Nyawa lalo bilen tubu
Rendup nangis ling poto ban
Masi po asi dunia
(jiwa /roh meninggalkan jasad
Merintih dan bersedih di ujung papan Karena masih mendambahkan kehidupan duniawi)
Pamuji tentu ko Nenek
Nosi bau tu kabaeng
Ada pang tu bajele
(pujian hanya untuk Allah
Tidak bisa untuk dimilki
Ada tempat kita bersandar)
Sai sate nyaman mate
Laga mo rembet sembahyang
Lema nyaman nyawa lalo
(siapa yang ingin bahagia
Rajin-rajinlah dirikan shalat
Niscaya jiwa akan tenang meninggalkan raga)
Muhammad rasul pilihan
Utusan saluruh alam
Bawa rahmat kalis repan
(Muhammad rasul pilhan
Utusan seluruh alam
Membawa rahmat dari Allah).
Sopo lawang katu sonap
Leng dunia pang katelas
Pang akherat tu baremin
(kita datang lewat pintu yang satu
Di dunia tempat kita hidup
Di akherat tempat berkumpul)
Ramadhan Bulan Puasa
Tu Boat genap Sabulan
Wajib Lako Tu Bariman
Tu Boat genap Sabulan
Wajib Lako Tu Bariman
Bua Tu Boat Puasa
Parenta NENE’ Ko Ulin
No Balong Lamin Tu Balin
Parenta NENE’ Ko Ulin
No Balong Lamin Tu Balin
Sai Lale Ko Parenta
Siong Si Ulin Bariman
Na Arap Datang Syafa’at
Siong Si Ulin Bariman
Na Arap Datang Syafa’at
Lagi Dadi Tau Taqwa
Min No Sampurna Ibadat
Rapang Tu Mangan No Nginim
Min No Sampurna Ibadat
Rapang Tu Mangan No Nginim
C. Hakekat Sastra Lisan Sasak (Lelakaq)
Lelakaq
dalam bahasa Sasak, sama artinya dengan pantun. Orang Minangkabau
menyebut pantun, orang Sumbawa (tau Samawa) menyebutnya lawas, dan orang
dari daerah lainnya entah menyebutnya lain lagi. Lelakaq banyak
macamnya, tergantung dari kegunaannya. Jika dipakai balawas namanya
lelawas, sementara jika dipakai pada nembang namanya tembang. (H. Lalu
Muhammad Azhar, 1996 : 23).
D. Jenis Lelakaq Sasak
berikut jenis lelakaq sasak :
(1) Lelakaq Nasehat.
(2) Lelakaq Bebajangan (muda-mudi).
(3) Lelakaq betimbalan (lelakaq berkait).
(4) Lelakaq Sembilinan (perpisahan).
(5) Lelakaq Jenaka. (H. Lalu Muhammad Azhar, 1996 : 23).
Berikut beberapa contoh lelakaq :
(1) Kebango enjeq-enjeq
Teloq tapong bentel-entel
Mun pano eraq lemaq
Tain meong mun paran tekel
Baris pertama dan kedua adalah sampiran, sedangkan baris ketiga dan keempat adalah isi.
v Mun pano eraq lemaq (jika Anda turun ke desa esok lusa)
Tain meong mun paran tekel (kotoran kucing dikira jajan tekel).
(2) Embe jalan tipaq Rembiga
Sayang-sayang ojok baret
Ngumbe entan ngitaq sida
Kasih sayang endaqna pegat
(Mana jalan ke tempat Rembiga
Sayang-sayang ke barat
Bagaimana cara melihat engkau
Kasih sayang tidak pernah putus)
(3) Minaq jejukung kayuq bae
Mun palembah kayuq dao
Silaq tulung siq sida bae
Adeq ta molah leto ngayo
(Membuat perahu cukup dengan kayu saja
Biarpun menggunakan palembah kayu dao
Silakan membantu antar sesama saja
Biar kita bisa main-main ke sana)
(4) Mula kesuruh perang Praya
Jangka lauq dateng Pujut
Sorong serah aji kerama
Pusaka laeq masih teturut
(5) Jangka timuq perang Pringgabaya
Jangka daya dateng Sokong Bayan
Adeqda mauq pada memeta
Suka begawean polos bekelampan
(6) Bukal anteq-anteq
Kedebong bawaq alang
Mun suka Raden Pateq
Tanggep gong gorok lepang. (H. Lalu Muhammad Azhari, 1996 : 23 – 25).
v Lelakaq umumnya berpola ab-ab.
v Fungsi
lelakaq adalah ; (a) sebagai hiburan dikala hati dibalut duka dan
sedih, (b) sebagai sindiran dan kritikan, (c) sebagai alat kontrol
sosial, (d) sebagai media untuk menarik perhatian sang kekasih.[10]
v Tujuan
lelakaq ; (a) untuk memberikan pandangan kepada masyarakat bahwa dalam
lelakaq ada nilai, cara berfikir (etnis Sasak) yang harus dapat dipetik
oleh masyarakatnya, (b) dengan hadirnya lelakaq dapat menonjolkan
identitas bahasa Sasak sekaligus sebagai alat untuk menjaga bahasa Sasak
dari kepudaran.[11]
E. Kategori yang Dibandingkan antara lawas Samawa dengan lelakaq Sasak
a. Lawas Samawa tidak memiliki pola tertentu[12]. Sementara lelakaq umumnya berpola ab-ab.
b. Lawas
Samawa terdiri atas tiga jenis, berdasarkan kelompok umur, yaitu ; (1)
Lawas anak-anak, (2) lawas muda-mudi (Taruna-dadara), (3) lawas orang
tua/tau loka (orang tua). Sedangkan lelakaq Sasak terdiri
atas lima jenis, yaitu : (1) lelakaq nasehat, (2) lelakaq bebajangan
(muda-mudi), (3) lelakaq sembilinan (perpisahan), (4) lelakaq betimbalan
(lelakaq berkait), dan (5) lelakaq jenaka.
c. Lawas
terdiri atas 3 baris setiap bait ; baris pertama dan kedua adalah
berisi sampiran, sedangkan baris ketiga adalah isi/makna. Sementara
lelakaq sasak terdiri atas 4 baris setiap bait ; baris pertama dan kedua
berisi sampiran, sedangkan baris ketiga dan keempat adalah isi/makna.
d. Dalam
melantunkan lawas harus menggunakan lagu/intonasi, untuk mendramatisasi
keindahan bunyi bahasanya. Begitu juga pada lelakaq dalam melantunkan
bisa dengan cara lelawas (balawas) dan ditembangkan.
e. Diksi
pada lawas cenderung menggunakan bahasa kalam/halus Samawa, sebagai
citraan identitas etnis Samawa. Sedangkan diksi pada lelakaq cenderung
menggunakan bahasa sehari-hari, dan terkadang juga disimulasikan dalam
bahasa kalam Sasak.
f. Pencipta
cenderung menggunakan/menghadirkan suasana bahasa lawas dalam bentuk
konotasi dalam mengapresiasikan hasil karyanya, dan ada juga yang
menggunakan kata-kata denotasi. Sedangkan lelakaq terkadang juga
menggunakan bahasa konotasi dan denotasi.
g. Lawas
Samawa difungsikan untuk mengekspresikan batin manusia yang diliputi
oleh rasa haru, sendu gunda-gulana, mungkin disebabkan oleh musiba atau
datangnya marabahaya yang mengancam hidupnya, maka untuk
menanggulangi/menghibur dicurahkan perasaannya dalam bentuk kata-kata.
Ucapan-ucapan itu tampak menjadi sebuah kekuatan dalam upacara untuk
mengusir unsur-unsur yang menimbulkan rasa marabahaya.[13]
Lawas juga difungsikan untuk mengungkapan perasaan hati yang artistik
dalam bentuk cinta, sedih, kritik, nasehat, dan sebagainya.[14]
lawas berperan sebagai alat perekam peristiwa, juga merupakan media
komunikasi dengan manusia lainnya. Sedangkan lelakaq difungsikan; (a)
sebagai hiburan dikala hati dibalut duka dan sedih, (b) sebagai sindiran
dan kritikan, (c) sebagai alat kontrol sosial, (d) sebagai media untuk
menarik perhatian sang kekasih.[15]
h. Tujuan
penciptaan lawas adalah untuk memberikan pandangan/cerminan kepada
masyarakat Samawa, bahwa dalam lawas terdapat nilai (nasehat), pandangan
hidup, kepercayaan, cara berfikir, dan nilai budaya (etnis Samawa) yang
patut diteladani oleh masyarakatnya baik dalam hubungannya dimasa lalu,
masa sekarang, maupun untuk masa yang akan datang. Sedangkan tujuan
penciptaan lelakaq adalah (a) untuk memberikan pandangan kepada
masyarakat bahwa dalam lelakaq ada nilai, cara berfikir (etnis Sasak)
yang harus dapat dipetik oleh masyarakatnya, (b) dengan hadirnya lelakaq
dapat menonjolkan identitas bahasa Sasak sekaligus sebagai alat untuk
menjaga bahasa Sasak dari kepudaran.[16]
LAMPIRAN
TEKNIK MEMPEROLEH DATA : TEKNIK INTERVIEW
BERIKUT INFORMAN YANG DIJADIKAN SUMBER :
(A) Wawancara dengan Dinullah Rayes, 19 Oktober 2006. Dalam Sastra Lisan (Lawas) Etnis Samawa dan Muatan Nilai Keagamaannya, Oleh : Muhammad Saleh.
(B) Wawancara dengan Maswarang, 31 Oktober 2006. Dalam Sastra Lisan (Lawas) Etnis Samawa dan Muatan Nilai Keagamaannya, Oleh : Muhammad Saleh.
(C) Wawancara dengan Mustakim Biawan, 3 November 2006. Dalam Sastra Lisan (Lawas) Etnis Samawa dan Muatan Nilai Keagamaannya, Oleh : Muhammad Saleh.
(D) Interview dengan Bapak Azhari, 20 Mei 2009.
DAFTAR PUSTAKA
Lalu Manca. 1984. Sumbawa Pada Masa Lalu ; Suatu Tinjauan Sejarah. Surabaya: Rinta.
Sumarsono et. Al. 1985. Kamus Sumbawa-Indonesia. Jakarta : Pusat Pembinaan dan Penelitian Bahasa.
Tim Penyusun Kamus Besar Bahasa Indonesia. 1989. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarata : Balai Pustaka.
Azhar, H. Lalu Muhammad. 1996. Reramputan Pelajaran Bahasa Sasak Untuk Kelas 4 Sekolah Dasar. Klaten Utara : PT Intan Pariwara.
Azhar, H. Lalu Muhammad. 1996. Reramputan Pelajaran Bahasa Sasak Untuk Kelas 5 Sekolah Dasar. Klaten Utara : PT Intan Pariwara.
Goverment Tourism Service of Sumbawa. 1997.the Regional Art of The Principal Tourism Object of Sumbawa. Sumbawa.
[1] Tim Penyusun Kamus Besar Bahasa Indonesia, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarata : Balai Pustaka, 1989: 504).
[2] Goverment Tourism Service of Sumbawa, the Regional Art of The Principal Tourism Object of Sumbawa (Sumbawa : tp., 1997 : 12).
[3] Sumarsono et. al, Kamus Sumbawa-Indonesia (Jakarta, Pusat Pembinaan dan Penelitian Bahasa, 1985 : 75).
[9] Lalu Manca, Sumbawa Pada Masa Lalu ; Suatu Tinjauan Sejarah (Surabaya, Rinta, 1984), cet. I. 40.
[10] Interview dengan Bapak Azhari, 20 Mei 2009.
[11] Interview dengan Bapak Azhari, 20 Mei 2009.
[12] Tidak tentu polanya (apakah bersajak aa-b,a-bb, a-a-a, dsbnya) tergantung
keinginan para pencipta lawas. Kalau memang ingin menonjolkan keindahan
bunyi bahasa, terkadang menggunakan bahasa yang bernada sama di ujung
baris setiap bait, sehingga dapat juga berpola a-a-a.
[15] Interview dengan Bapak Azhari, 20 Mei 2009.
[16] Interview dengan Bapak Azhari, 20 Mei 2009.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar