I
PENDAHULUAN
Etnis Samawa dikenal memiliki tradisi lisan yang terjaga baik,
meskipun kini ada kecenderungan mulai terpinggirkan. Padahal di dalam tradisi
lisan (sastra rakyat) memiliki nilai (nasehat) yang patut diteladani, seperti,
pandangan hidup, cara berfikir, dan nilai budaya tradisi lisan itu berada, baik
dalam hubungannya di masa lalu, masa sekarang, maupun untuk masa yang akan
datang.[1]
Tradisi lisan etnis
Samawa disebut-sebut sebagai pilar budaya yang masih ada semenjak berabad-abad
lamanya hingga sekarang, karena di dalamnya termuat tata nilai, sikap hidup,
serta alam pikiran kelompok masyarakatnya.[2] Keberadaan
sastra lisan Samawa di kalangan masyarakatnya tentu tidak statis. Artinya,
untuk mempertahankan tradisi tersebut dalam dinamika kehidupan modern, maka perlu adanya suatu pola penyampaian,
agar dapat terjaga secara turun-temurun. Pola penyampain sastra lisan Samawa
sangat beragam, karena sangat berdasar pada situasi dan kondisi tertentu (ragam
kegiatan yang dilakukan oleh masyarakatnya).
Misalnya, menembangkan lawas (balawas) secara beramai-ramai
oleh pria dan wanita dengan cara saling sambut-menyambut (saling siyir) disaat
musim panen (mengetam) padi, agar panas matahari tidak terasa. Ketika
membuat rumah secara bergotong royong, pria dengan pria menembangkan lawas,
wanita dengan wanita menembangkan lawas waktu memasak nasi dan lauk pauk,
untuk suguhan orang yang membuat rumah. Para gadis berama-ramai menumbuk padi
pada waktu malam hari, dengan alunan suara yang merdu, menyebabkan orang yang
mendengarkannya terharu, sehingga tempat itu menjadi ramai oleh pemuda-pemuda
yang ingin melihat dan mendengar secara dekat gadis-gadis yang menembangkan lawas
nuja’ (menumbuk). Di malam hari saat padi yang baru selesai di panen (ketam), berjejer ditengah sawah
beratapkan jerami terdengarlah suara melengking memecah malam sepi dengan
lawasnya untuk menahan mata dari rasa ngantuk, diiringi oleh seruling (serunai) yang terbuat dari
batang padi[3].
Tradisi lisan (balawas) sungguh berfungsi sebagai “…… besides to
state the happiness, the function oflawas is also to loose the tiredness of the
workers”. [4]
Berpijak pada gambaran di atas, bahwa sastra lisan (lawas)
etnis samawa sesungguhnya digunakan oleh masyarakatnya sesuai dengan situasi
dan kondisi tertentu (ragam kegiatan yang dilakukan oleh masyarakatnya) .
Dengan beragamnya penggunaan lawas, maka beragam pula cara penyampaiannya.
Dengan kata lain, bahwa penyampaian lawas di etnis Samawa sangat berdasar pada
kontekstual. Dengan demikian, sangat perlu untuk kita ketahui ragam penyampaian
sastra lisan (lawas) etnis Samawa di kalangan masyarakatnya.
A. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang
permasalahan di atas, maka berikut rumusan masalah yang hendak dipecahkan dalam
pokok pembahasan, yaitu bagaimanakah ragam penyampaian sastra lisan (lawas)
etnis Samawa di kalangan masyarakatnya?
B. Tujuan
Ada pun tujuan dalam penulisan ini,
yaitu secara umum untuk mendeskripsikan dan menggali khazanah budaya masyarakat
Samawa. Sedangkan secara khusus, untuk mendeskripsikan ragam penyampaian sastra
lisan (lawas) etnis Samawa di kalangan masyarakatnya.
C. Manfaat
Dengan membaca tulisan ini, dapat memberikan kontribusi
pengetahuan kepada para pembaca, yaitu dapat mengetahui ragam penyampaian
sastra lisan (lawas) etnis Samawa di kalangan masyarakatnya.
D. Landasan Teori
Hakikat Sastra Lisan Samawa (lawas)
Sastra
yang berkembang dalam masyarakat etnis Samawa adalah sastra lisan yang berupa
puisi tradisional, dikenal dengan nama lawas. Lawas ini diwariskan dalam
bentuk lisan, dengan menggunakan temung,
bentuk penyampaian ini disebut balawas.
Kata lawas dalam Kamus
Besar Bahasa Indonesia artinya ‘ luas, melawas luas, lapang, lega ‘.[5]Jika
dikaitkan dengan ber-lawas dalam masyarakat Samawa (balawas) yang menunjukkan
tentang kegiatan menyampaikan lawas yang terkait dengan suasana hati yang
lapang dan lega. Dengan ungkapan lain, lawas adalah the human creation that created and expressed by languange ; by writing
or oral that risen the happiness and sadness in the human seul (ciptaan
manusia yang dilahirkan dan dinyatakan dengan bahasa, baik lisan maupun tulisan
yang menimbulkan rasa keindahan dan keharuan dalam lubuk jiwa manusia).[6]
Menurut Sumarsono dkk.
dalam Kamus Sumbawa-Indonesia terbitan
Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, lawas
adalah sejenis puisi tradisional khas Sumbawa, umumnya terdiri dari tiga baris,
biasa dilisankan pada upacara-upacara tertentu.[7]
Budayawan Sumbawa, Dinullah
Rayes menjelaskan, bahwa lawas pada mulanya berinduk pada bahasa Sumbawa yang
tidak bisa dideteksi kapan mulai tumbuh/hadir ditengah masyarakat. Namun,
kehadirannya dalam kehidupan masyarakat Samawa, berawal sebagai alat ekspresi
batin manusia yang diliputi oleh rasa haru, sendu gunda-gulana, mungkin
disebabkan oleh musiba atau datangnya marabahaya yang mengancam hidupnya. Untuk
menanggulangi/menghibur, dicurahkan perasaan dalam bentuk kata-kata.
Ucapan-ucapan itu tampak menjadi sebuah kekuatan dalam upacara untuk mengusir
unsur-unsur yang menimbulkan rasa marabahaya.[8]
Tukang pembuat lawas,
H. Maswarang mengatakan, bahwa lawas adalah
syair-syair yang ditembangkan sebagai bentuk pengungkapan perasaan hati dalam
bentuk cinta, sedih, kritik, nasehat, dan sebagainya.[9]
Mustakim Biawan
mengatakan, bahwa lawas disampaikan secara lisan, sehingga menjadi begitu akrab
dengan masyarakat, karena sudah menjadi bagian dari mereka mengekspresikan isi
hatinya, apalagi disampaikan dengan cara melagukan.[10]
Lebih lanjut, Lalu
Manca menjelaskan, bahwa lawas adalah syair yang terdiri atas tiga baris dengan
syarat tiap baris terjalin, merupakan tiga seuntai dan tiap-tiap baris terdiri
atas delapan suku kata.
Lawas mengandung
pengertian yang dalam, keluar dari perasaan yang halus, mengundang pendengar
untuk meneliti dan memikirkan sungguh-sungguh, seperti keluhan rakyat jelata
terhadap pembesar negeri yang bersenang ria di tengah-tengah rakyat yang tidak
mempunyai papan, sandang, dan pangan, sehingga dinyatakan lewat lawas. [11]
Dengan demikian, lawas
secara umum dapat diartikan sebagai puisi tradisonal Samawa yang terdiri dari
tiga baris setiap bait, diungkapkan secara lisan dengan menggunakan bahasa-bahasa
yang indah, biasanya disampaikan pada saat-saat tertentu, baik secara individu
maupun berkelompok.
II
PEMBAHASAN
A. Ragam Penyampaian Sastra Lisan (Lawas) Etnis Samawa di Kalangan
Masyarakatnya
Tradisi lawas Samawa sampai saat ini
masih hidup dalam masyarakat etnis Samawa. Adapun cara penerusan dan penyebaran
lawas melalui berbagai bentuk pertunjukan untuk dipertontonkan. Ada pula
yang memang disampaikan pada saat orang-orang sedang bekerja di sawah, ladang,
saat gotong royong membangun rumah, mengasuh anak, saat upacara adat, dan saat karapan
kerbau[12].
Berikut ragam penyampain lawas etnis Samawa di kalangan masyarakatnya:
1. Balawas
Balawas dalam masyarakat
Samawa adalah menembangkan lawas secara
beramai-ramai atau seorang diri. Secara beramai-ramai pria dan wanita
menembangkan lawas dalam rangkaian upacara perkawinan. Di saat musim panen atau
musim memetik hasil kacang hijau, balawas sering dilantunkan. Di saat berangkat ke sawah,
ladang, atau pulang ke kampung, usai menjaga ladangnya seorang petani
menembangkan lawas, melepas kerinduan atau mengusir kesepian yang mencekam
jiwanya. Apabila membuat atau memasang atap rumah, sekelompok pria yang tengah
bekerja bergotong royong memperbaiki atau membangun sebuah rumah panggung
kedengaranlah lawas riup rendah dikumandangkan.[13]
So besides to state the happiness, the function of lawas is
also to loose the tiredness of the workers (Jadi, peranan lawas selain untuk menyatakan kegirangan, juga pelenyap
kelelahan bagi para pekerja).[14] Contoh:
Kakendung ling ku adi e
Kupina
pa asa kau
No tutu sai ya bola
(Terlanjur ucapanku duhai adinda
Engkau jadi impian
Kalau tidak jadi, siapa yang bohong)
Bola kau suda ku to
Jengka mara akar bako
Nanta no asa ling untung
(Dustamu
sudah ku tahu
Berjejer
bagaikan akar bakau
Duh
sayang tak mengharap jodoh)
Untung ku no poka tenri
Dunung mo katara rungan
Sawer ning tu lako ate
(Jodohku
belumlah pasti
Lebih
dahulu berita menyebarkan
Dikabarkan
si tujuan hati)
2. Basakeco
Sakeco dilakukan oleh para lelaki (dua pria disatu pihak dan dua
pria dipihak lainnya) menembangkan lawas sambil membunyikan lawas. Lawas yang ditembangkan berisi cinta
kasih pemujaan, nasihat agama, sejarah masa lalu, perjuangan yang penuh heroik,
mengedepankan masalah pembangunan dan perjuangan hidup yang dikaitkan dengan
gotong royong berazaskan kekeluargaan. Pelaksanaan pengaturannya silih berganti,
selesai disatu pihak disambung dan dibalas oleh pihak lainnya.
Sakeco adalah sebuah syair lawas yang dilantunkan dengan lagu dan
diiringi nada rabana yang di dalamnya mengandung makna tersendiri.[15]
Sakeco adalah
salah satu kesenian tradisional Samawa yang biasanya dimainkan pada saat
acara-acara sakral, seperti khitan, perkawinan, dan lain-lainnya. [16]
Menurut Mustakim Biawan, sakeco adalah
nada dan syair yang dimainkan dalam satu komponen tertentu, sehingga membentuk
variasi antara nada dan lagu yang bisa memperjelas makna yang terkandung
didalamnya.[17]
Sedangkan menurut A. Maulana, Sakeco adalah suatu usaha yang dilakukan oleh
manusia dalam mengembangkan bakat dan minat yang ada pada diri individu dalam
belajar mengembangkan nilai-nilai seni atau budaya yang ada.
Sakeco adalah seni yang membuat orang terpesona dalam mendengar dan
menyaksikan segala ekspresi yang dilakukan. Dengan demikian, secara istilah,
sakeco adalah segala upaya yang dilakukan oleh manusia dalam berekspresi yang
diperagakan dengan berbagai gaya, sehingga membuat orang terlena dan terpesona
dengan segala lantunan yang begitu indah.[18]
Sakeco is played to celebrate the
wedding party, the moriterious but not obligatory prophet or other ritual
ceremony (Sakeco ini diadakan untuk
memeriahkan upacara perkawinan dan upacara adat lainnya, seperti selamatan atau
kenduri)[19].
Contoh:
Kusamula ke bismillah
Kusasuda ke wassalam
Nanke salamat parana
(Ku mulai dengan bismillah
Kuakhiri dengan wassalam
Semoga aku selamat)
Lamin no poka sia to
Ba ta moku bada sia
Tanya baeng saling sayang
(Bila belum tuan tahu
Kini kuberitahu tuan
Saya punya “saling sayang”)
Ku hormat kaling sia
No ku beang tenri tana
Mana ling sakit ku kaya
(Ku hormati kata-kata tuan
Tak kubiarkan jatuh ke tanah
Walau sakitpu ku berupaya).
3. Bagandang
a. Gandang Suling
Pria dan wanita
menembangkan lawas dengan alunan
suara berirama dan merdu berbarengan dengan suara suling mengikuti irama lawas
yang ditembangkan. Gandang ini disaksikan kala sekelompok orang bergembira
ria, karena panenan tahun ini menjadi baik.
Jika, orang yang diliputi
kesenangan lahir dan batin, gandang ini ditembangkan pertanda syukur
kepada Allah SWT.[20] Dengan
demikian, mutan nilai keagamaan juga sering muncul.
b.
Gandang Nuja
Sekelompok wanita
menembangkan lawas beramai-ramai
sembari menumbuk padi dalam suasana gotong royong yang berazaskan kekeluargaan.
Gandang nuja (menumbuk padi), merupakan bantuan sukarela terhadap suatu
keluarga yang akan menyelenggarakan kerja yang berhubungan dengan adat,
misalnya pengadaan pangan menghadapi upacara perkawinan atau menghadapi
kenduri. Bagandang ini biasanya dilakukan di halaman rumah kala terang bulan
dan disaksikan orang banyak. Para jejaka
asyik mendengarkan lawas sembari mengerling gadis yang menjadi intaian
batinnya. Bagadang yang dibarengi lawas nuja ini, hingga kini tetap bersemi di
hati penduduk pedesaan.[21] Contoh
:
Ajan sumpama kulalo
Kutarepa bale sia
Beleng ke rua e nanta
(Seandainya aku bertandang
Mampir d irumah adinda
Adakah gerangan belas kasihan)
Lamin tetapmo pang sia
Bose sangangkang let rea
Na’ beang bilu lakolin
(Jika pendirian sudah mantap
Berdayung arah laut yang besar
Jangan berpaling pada yang lain).
4. Basaketa
Pernyataan kegirangan dari sekelompok penduduk pedesaan kala gotong royong atau ketika melaksanakan
permainan rakyat. Tampil seorang pria yang fasih lidahnya mengumandangkan
lawas. Di sela-sela lengkingan suara merdu itu, anggota rombongan lainnya
serempak menyambut dengan suara: -ho-ham-hoham-ho-ham dan seterusnya.[22]
Bagi kampung yang berdekatan, apabila melakukan kerja gotong royong, misalnya
membangun atau mendirikan rumah, maka saketa ini memegang peranan penting untuk
membangkitkan gairah dan semangat kerja.
We can see saketa when the folklore celebrated like buffalo race, berempuk
and other program related to the mutual assistance (saketa dapat kita saksikan saat berlangsungnya permainan
rakyat, seperti kerapan kerbau, berempuk, dan acara yang berhubungan dengan
kerja gotong royong lainnya.[23]
Contoh:
Pangantan entek rawi ano
Iring ling mayung
satupang
Lamin no buta ba tempang
(Pengantin naik di sore hari
Di iringi oleh binatang tusa yang banyak
Kalau tidak buta, ya pincang)
Tuk tak ne mayong
Jontal satetak dadi
payung[24]
(Tuk, tak suara kakinya rusa
Daunnya Jontal jadi paying)
5. Ngumang
Seorang pria mengancungkan kedua tangannya sembari menembangkan lawas (seperti
seorang penari) dengan suara merdu, sehingga ia menjadi pusat perhatian orang
banyak. [25]
We can
see ngumang when the people hold the buffalo race or barempuk on the rice-field
(ngumang bisa kita jumpai saat orang melaksanakan
keramaian kerapan kerbau atau ketika menyelenggarakan permainan berempuk dalam
sawah yang diatur sedemikian rupa).[26]Contoh:
Ala e sai nongka to
Ma katoan lako aku
Tanya baeng sakap konde
(Siapa yang belum mengenal
Tanyalah pada ku
nilah
pemilik “sakap konde”)
6.
Malangko
Malangko merupakan kegiatan yang dilakukan oleh dua orang antara pria dan
wanita dengan bersoal jawab (berbalas) lawas. Orang memegang peranan dalam
malangko ini adalah orang yang benar-benar menguasai lawas. Bagi yang kurang mampu
menyatakan isi hatinya lewat lawas segera diambil alih oleh orang lain untuk
melanjutkan langko.[27]
Malangko sering kita saksikan dalam rangkaian upacara perkawinan, kenduri,
pada saat bulan purnama di desa, dan disaat muda mudi tengah bekerja di sawah,
agar tiada terasa terik matahari menyengat kulit, sehingga kelelahan fisik jadi sirna.
This is
done as an entertainment is villages, after hard-work , done by women-villagers
(makna budaya dari malangko adalah sebagai hiburan, syukuran setelah
selesai bekerja keras).[28] Contoh:
Putra: Kusamula ke bismillah
Kusasuda ke wassalam
Nan ke salamat parana
(Kumulai
dengan bismillah
Ku
akhiri dengan salam
Agar
diri jadi selamat)
Putri: Rungan rame
boat sia
Bagentar
tana Samawa
Bato mo
nyata ku gita
(Khabarnya
meriah pesta tuan
Bergetar
tanah Samawa
Kini
nyatalah sudah)
Putra: Tu gita nyata
ke mata
Riam
mara din baringin
No bola
ne bawa rungan
(Nyata
terlihat oleh mata
Lebat
bagaikan daun beringin
Tiada
datang pembawa khabar)
Putri: Rungan balong
mu andi e
Kaling
empang ko Jerewe
No monda
dengan ku banding
(Berita
kecantikanmu duhai sayang
Dari
Empang sampai Jereweh
Tiada tanding tiada banding)[29]
7. Badede
a.
Badede Adat
Babede ini khusus dilakukan
dikalangan kaum bangsawan. Apabila berlangsungnya upacara perkawinan, maka badede ini dilaksanakan. Beberapa
wanita menembangkan lawas sambil membunyikan kosok kancing (sejenis
maracas). Hal ini dihajatkan, agar mereka yang menerima acara ini
semangatnya tetap stabil. Tidak mudah diganggu mahkluk halus.[30]
b.
Badede Anak-anak
Badede ini dilakukan untuk
meninabobok ananak-anak. Ini biasa dilakukan oleh seorang ibu terhadap anaknya
atau seorang kakak terhadap adiknya. Badede
ini menembangkan lawas
dengan tujuan menidurkan sang anak. Kalau anak sudah tertidur, maka dengan
sendirinya lawas bedede ini usai.[31] Contoh:
Ma tunung adi ma tunung
Meleng tunung ku beang me
Jangan jadi kembo kopang
(Mari tidur adik marilah tidur
Bangun tidur ku beri nasi
Campuran susu kerbau yang sehat)
Adi ode dalam bilek
Nyentik ima poyong mama
Sadua kita gamandi
(Adik mungil dalam buaian
Lentik jemari yang indah
Kita berdua wahai adinda)40
8. Basual
Basual adalah tanya jawab dengan lawas.
Seorang mengajukan soal lawas (menyebut
sampiran dari sebuah lawas) dan
yang mengetahui segera menjawab soal
tadi. Jelasnya, seorang mengemukakan sampiran lawas dan seorang lagi menjawab
dengan isi lawas itu.
Basual make/ask the question. This ceremony wo can find when/put the house
on, crop the rice in the rice-field or when the people die. Itis relax just to
obstacle the time. (Basual adalah
menyampaikan soal. Acara ini bisa kita jumpai saat membuat atap rumah, ketika
memotong padi di sawah atau di tempat orang meninggal. Sifatnya santai, yaitu
untuk perintang waktu belaka).[32] Contoh:
Ayam buri desa utan
Parak ke desa samamung
Ana badi kuring rate
Meporiri ku ta intan
Jarang ku bau batemung
Rosa
dadi rusak ate
(Ayam burik desa utan
Dekat dari desa samamung
Ada badik ku di rate
Betapa caraku duhai saying
Sangat jarangku bertemu
Hancur luluhlah hatiku)
Lalo mancing ko pamulung
Entek lako desa pungka
Ku pandang desa malili
Alo kau manjeng urung
Ku klek no balik bungkak
Mu mandang ada si lili
(Pergi mancing ke pamulung
Naik ke desa pungka
Kupandang desa malili
Pergilah engkau bekas kekasih
Kupanggil
tak menoleh
Kau kawin ada pengganti)[33]
III
SIMPULAN
Tradisi lawas Samawa sampai
saat ini masih hidup dalam masyarakat etnis Samawa. Adapun cara penerusan dan
penyebaran lawas melalui berbagai bentuk pertunjukan untuk
dipertontonkan. Ada pula yang memang disampaikan pada saat orang-orang sedang
bekerja di sawah, ladang, saat gotong royong membangun rumah, mengasuh anak,
saat upacara adat, dan saat karapan kerbau[34].
Ada 8 ragam penyampain lawas etnis Samawa di kalangan masyarakatnya, yaitu:
1.
Balawas
adalah
menembangkan lawas secara beramai-ramai
atau seorang diri.
2.
Basakeco
Yaitu, dilakukan oleh para lelaki (dua pria disatu
pihak dan dua pria dipihak lainnya) sambil menembangkan lawas.
3.
Bagandang ada dua jenis, yaitu:
a.
Gandang Suling
Pria
dan wanita menembangkan lawas dengan
alunan suara berirama dan merdu berbarengan dengan suara suling mengikuti irama
lawas yang ditembangkan.
b.
Gandang Nuja
Sekelompok
wanita menembangkan lawas beramai-ramai
sembari menumbuk padi dalam suasana gotong royong yang berazaskan kekeluargaan.
4.
Basaketa
Pernyataan kegirangan
dari sekelompok penduduk pedesaan kala
gotong royong atau ketika melaksanakan permainan rakyat. Tampil seorang
pria yang fasih lidahnya mengumandangkan lawas. Di sela-sela lengkingan suara
merdu itu, anggota rombongan lainnya serempak menyambut dengan suara: -ho-ham-hoham-ho-ham
dan seterusnya.
5.
Ngumang
Seorang pria
mengancungkan kedua tangannya sembari menembangkan lawas (seperti
seorang penari) dengan suara merdu, sehingga ia menjadi pusat perhatian orang
banyak. [35]
6. Malangko
Malangko merupakan
kegiatan yang dilakukan oleh dua orang antara pria dan wanita dengan bersoal
jawab (berbalas) lawas.
7.
Badede ada dua jenis, yaitu:
a.
Badede Adat
Babede ini khusus dilakukan
dikalangan kaum bangsawan. Apabila berlangsungnya upacara perkawinan, maka badede ini dilaksanakan. Beberapa
wanita menembangkan lawas sambil membunyikan kosok kancing (sejenis
maracas).
b. Badede Anak-anak
Badede ini dilakukan untuk meninabobok ananak-anak.
8.
Basual
seorang mengemukakan sampiran lawas dan seorang lagi menjawab
dengan isi lawas itu.
DAFTAR
PUSTAKA
Goverment Tourism Service of Sumbawa. 1997. The Regional Art of The Principal Tourism
Object of Sumbawa. Sumbawa.
Mustaqiem. 1993.
Kedudukan dan Fungsi Lawas dalam Masyarakat Sumbawa Di Kecamatan Plampang.
Saleh, Muhammad. 2007. Sastra Lisan (Lawas) Etnis Samawa dan Muatan Nilai Keagamaannya (Jurnal Penelitian Keislaman, Vol.
4, No. 1, Desember).
Sumarsono et. Al. 1985. Kamus Sumbawa-Indonesia. Jakarta : Pusat Pembinaan dan Penelitian
Bahasa. Mataram: FKIP Universitas Mataram.
Suyasa, Made. 2004. Seni
Balawas Dalam Masyarakat Etnis Samawa. Denpasar.
Tim Penyusun Kamus Besar Bahasa
Indonesia. 1989. Kamus Besar Bahasa Indonesia.
Jakarata : Balai Pustaka.
[2] Muhammad
Saleh, 2007: 120.
[4] Goverment
Tourism Service of Sumbawa, the Regional
Art of The Principal Tourism Object of Sumbawa (Sumbawa : tp., 1997 : 12).
[5] Tim Penyusun
Kamus Besar Bahasa Indonesia, Kamus Besar
Bahasa Indonesia (Jakarata : Balai Pustaka, 1989: 504).
[6] Goverment
Tourism Service of Sumbawa, the Regional
Art of The Principal Tourism Object of Sumbawa (Sumbawa : tp., 1997 : 12).
[7] Sumarsono et. al. Kamus Sumbawa-Indonesia (Jakarta: Pusat
Pembinaan dan Penelitian Bahasa, 1985 :
75).
[8] Dinullah Rayes, 2006 dalam Muhammad Saleh. 2007. Sastra lisan (lawas) etnis samawa
dan muatan nilai keagamaannya.. Jurnal Penelitian
Keislaman Vol 4, No. 1, hal 120.
[9] Maswarang, 2006 dalam Muhammad Saleh. 2007. Sastra lisan (lawas) etnis samawa
dan muatan nilai keagamaannya.. Jurnal Penelitian
Keislaman Vol 4, No. 1, hal 120.
[10] Mustakim Biawan, 2006 dalam Muhammad Saleh. 2007. Sastra lisan (lawas) etnis samawa
dan muatan nilai keagamaannya.. Jurnal Penelitian
Keislaman Vol 4, No. 1, hal 120.
[14] Government Tourism Service of Sumbawa, he Regional Art the
Principal Tourism Object of Sumbawa (Sumbawa: tp., 1997: 23).
[19] Government
Tourism Service of Sumbawa, he Regional Art the Principal Tourism Object of
Sumbawa (Sumbawa: tp., 1997: 24).
[32] Government Tourism
Service of Sumbawa, he Regional Art the Principal Tourism Object of Sumbawa (Sumbawa:
tp., 1997: 30).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar