Total Tayangan Halaman

Senin, 30 Januari 2012

RAGAM PENYAMPAIAN SASTRA LISAN (LAWAS) ETNIS SAMAWA


I
PENDAHULUAN

Etnis Samawa dikenal memiliki tradisi lisan yang terjaga baik, meskipun kini ada kecenderungan mulai terpinggirkan. Padahal di dalam tradisi lisan (sastra rakyat) memiliki nilai (nasehat) yang patut diteladani, seperti, pandangan hidup, cara berfikir, dan nilai budaya tradisi lisan itu berada, baik dalam hubungannya di masa lalu, masa sekarang, maupun untuk masa yang akan datang.[1]
  Tradisi lisan etnis Samawa disebut-sebut sebagai pilar budaya yang masih ada semenjak berabad-abad lamanya hingga sekarang, karena di dalamnya termuat tata nilai, sikap hidup, serta alam pikiran kelompok masyarakatnya.[2] Keberadaan sastra lisan Samawa di kalangan masyarakatnya tentu tidak statis. Artinya, untuk mempertahankan tradisi tersebut dalam dinamika kehidupan modern,  maka perlu adanya suatu pola penyampaian, agar dapat terjaga secara turun-temurun. Pola penyampain sastra lisan Samawa sangat beragam, karena sangat berdasar pada situasi dan kondisi tertentu (ragam kegiatan yang dilakukan oleh masyarakatnya).
Misalnya, menembangkan lawas (balawas) secara beramai-ramai oleh pria dan wanita dengan cara saling sambut-menyambut (saling siyir) disaat musim panen (mengetam) padi, agar panas matahari tidak terasa. Ketika membuat rumah secara bergotong royong, pria dengan pria menembangkan lawas, wanita dengan wanita menembangkan lawas waktu memasak nasi dan lauk pauk, untuk suguhan orang yang membuat rumah. Para gadis berama-ramai menumbuk padi pada waktu malam hari, dengan alunan suara yang merdu, menyebabkan orang yang mendengarkannya terharu, sehingga tempat itu menjadi ramai oleh pemuda-pemuda yang ingin melihat dan mendengar secara dekat gadis-gadis yang menembangkan lawas nuja’ (menumbuk). Di malam hari saat padi yang baru selesai di panen (ketam), berjejer ditengah sawah beratapkan jerami terdengarlah suara melengking memecah malam sepi dengan lawasnya untuk menahan mata dari rasa ngantuk, diiringi oleh seruling (serunai) yang terbuat dari batang padi[3]. Tradisi lisan (balawas) sungguh berfungsi sebagai “…… besides to state the happiness, the function oflawas is also to loose the tiredness of the workers”. [4]
Berpijak pada gambaran di atas, bahwa sastra lisan (lawas) etnis samawa sesungguhnya digunakan oleh masyarakatnya sesuai dengan situasi dan kondisi tertentu (ragam kegiatan yang dilakukan oleh masyarakatnya) . Dengan beragamnya penggunaan lawas, maka beragam pula cara penyampaiannya. Dengan kata lain, bahwa penyampaian lawas di etnis Samawa sangat berdasar pada kontekstual. Dengan demikian, sangat perlu untuk kita ketahui ragam penyampaian sastra lisan (lawas) etnis Samawa di kalangan masyarakatnya.  

A. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang permasalahan di atas, maka berikut rumusan masalah yang hendak dipecahkan dalam pokok pembahasan, yaitu bagaimanakah ragam penyampaian sastra lisan (lawas) etnis Samawa di kalangan masyarakatnya?

B. Tujuan
Ada pun tujuan dalam penulisan ini, yaitu secara umum untuk mendeskripsikan dan menggali khazanah budaya masyarakat Samawa. Sedangkan secara khusus, untuk mendeskripsikan ragam penyampaian sastra lisan (lawas) etnis Samawa di kalangan masyarakatnya.

C. Manfaat
Dengan membaca tulisan ini, dapat memberikan kontribusi pengetahuan kepada para pembaca, yaitu dapat mengetahui ragam penyampaian sastra lisan (lawas) etnis Samawa di kalangan masyarakatnya.

D. Landasan Teori
Hakikat Sastra Lisan Samawa (lawas)
Sastra yang berkembang dalam masyarakat etnis Samawa adalah sastra lisan yang berupa puisi tradisional, dikenal dengan nama lawas. Lawas ini diwariskan dalam bentuk lisan, dengan menggunakan temung,  bentuk penyampaian ini disebut balawas.
Kata lawas dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia artinya ‘ luas, melawas luas, lapang, lega ‘.[5]Jika dikaitkan dengan ber-lawas dalam masyarakat Samawa (balawas) yang menunjukkan tentang kegiatan menyampaikan lawas yang terkait dengan suasana hati yang lapang dan lega. Dengan ungkapan lain, lawas adalah the human creation that created and expressed by languange ; by writing or oral that risen the happiness and sadness in the human seul (ciptaan manusia yang dilahirkan dan dinyatakan dengan bahasa, baik lisan maupun tulisan yang menimbulkan rasa keindahan dan keharuan dalam lubuk jiwa manusia).[6]
Menurut Sumarsono dkk. dalam  Kamus Sumbawa-Indonesia terbitan Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, lawas adalah sejenis puisi tradisional khas Sumbawa, umumnya terdiri dari tiga baris, biasa dilisankan pada upacara-upacara tertentu.[7]
Budayawan Sumbawa, Dinullah Rayes menjelaskan, bahwa lawas pada mulanya berinduk pada bahasa Sumbawa yang tidak bisa dideteksi kapan mulai tumbuh/hadir ditengah masyarakat. Namun, kehadirannya dalam kehidupan masyarakat Samawa, berawal sebagai alat ekspresi batin manusia yang diliputi oleh rasa haru, sendu gunda-gulana, mungkin disebabkan oleh musiba atau datangnya marabahaya yang mengancam hidupnya. Untuk menanggulangi/menghibur, dicurahkan perasaan dalam bentuk kata-kata. Ucapan-ucapan itu tampak menjadi sebuah kekuatan dalam upacara untuk mengusir unsur-unsur yang menimbulkan rasa marabahaya.[8]
Tukang pembuat lawas, H. Maswarang mengatakan, bahwa lawas adalah syair-syair yang ditembangkan sebagai bentuk pengungkapan perasaan hati dalam bentuk cinta, sedih, kritik, nasehat, dan sebagainya.[9]
Mustakim Biawan mengatakan, bahwa lawas disampaikan secara lisan, sehingga menjadi begitu akrab dengan masyarakat, karena sudah menjadi bagian dari mereka mengekspresikan isi hatinya, apalagi disampaikan dengan cara melagukan.[10]
Lebih lanjut, Lalu Manca menjelaskan, bahwa lawas adalah syair yang terdiri atas tiga baris dengan syarat tiap baris terjalin, merupakan tiga seuntai dan tiap-tiap baris terdiri atas delapan suku kata.
Lawas mengandung pengertian yang dalam, keluar dari perasaan yang halus, mengundang pendengar untuk meneliti dan memikirkan sungguh-sungguh, seperti keluhan rakyat jelata terhadap pembesar negeri yang bersenang ria di tengah-tengah rakyat yang tidak mempunyai papan, sandang, dan pangan, sehingga dinyatakan lewat lawas. [11]
Dengan demikian, lawas secara umum dapat diartikan sebagai puisi tradisonal Samawa yang terdiri dari tiga baris setiap bait, diungkapkan secara lisan dengan menggunakan bahasa-bahasa yang indah, biasanya disampaikan pada saat-saat tertentu, baik secara individu maupun berkelompok. 

II
PEMBAHASAN

A.    Ragam Penyampaian Sastra Lisan (Lawas) Etnis Samawa di Kalangan Masyarakatnya
 Tradisi lawas Samawa sampai saat ini masih hidup dalam masyarakat etnis Samawa. Adapun cara penerusan dan penyebaran lawas melalui berbagai bentuk pertunjukan untuk dipertontonkan. Ada pula yang memang disampaikan pada saat orang-orang sedang bekerja di sawah, ladang, saat gotong royong membangun rumah, mengasuh anak, saat upacara adat, dan saat karapan kerbau[12]. Berikut ragam penyampain lawas etnis Samawa di kalangan masyarakatnya:

1.      Balawas

Balawas dalam masyarakat Samawa adalah menembangkan lawas  secara beramai-ramai atau seorang diri. Secara beramai-ramai pria dan wanita menembangkan lawas dalam rangkaian upacara perkawinan. Di saat musim panen atau musim memetik hasil kacang hijau, balawas  sering dilantunkan. Di saat berangkat ke sawah, ladang, atau pulang ke kampung, usai menjaga ladangnya seorang petani menembangkan lawas, melepas kerinduan atau mengusir kesepian yang mencekam jiwanya. Apabila membuat atau memasang atap rumah, sekelompok pria yang tengah bekerja bergotong royong memperbaiki atau membangun sebuah rumah panggung kedengaranlah lawas riup rendah dikumandangkan.[13]
So besides to state the happiness, the function of lawas is also to loose the tiredness of the workers (Jadi, peranan lawas selain untuk menyatakan kegirangan, juga pelenyap kelelahan bagi para pekerja).[14] Contoh:
Kakendung ling ku adi e
Kupina pa asa kau
No tutu sai ya bola

(Terlanjur ucapanku duhai adinda
Engkau jadi impian
Kalau tidak jadi, siapa yang bohong)

Bola kau suda ku to
Jengka mara akar bako
Nanta no asa ling untung
(Dustamu sudah ku tahu
Berjejer bagaikan akar bakau
Duh sayang tak mengharap jodoh)

Untung ku no poka tenri
Dunung mo katara rungan
Sawer ning tu lako ate

(Jodohku belumlah pasti
Lebih dahulu berita menyebarkan
Dikabarkan si tujuan hati)

2.     Basakeco
Sakeco dilakukan oleh para lelaki (dua pria disatu pihak dan dua pria dipihak lainnya) menembangkan lawas sambil membunyikan lawas. Lawas yang ditembangkan berisi cinta kasih pemujaan, nasihat agama, sejarah masa lalu, perjuangan yang penuh heroik, mengedepankan masalah pembangunan dan perjuangan hidup yang dikaitkan dengan gotong royong berazaskan kekeluargaan. Pelaksanaan pengaturannya silih berganti, selesai disatu pihak disambung dan dibalas oleh pihak lainnya.
Sakeco adalah sebuah syair lawas yang dilantunkan dengan lagu dan diiringi nada rabana yang di dalamnya mengandung makna tersendiri.[15]
 Sakeco adalah salah satu kesenian tradisional Samawa yang biasanya dimainkan pada saat acara-acara sakral, seperti khitan, perkawinan, dan lain-lainnya. [16]
Menurut Mustakim Biawan, sakeco adalah nada dan syair yang dimainkan dalam satu komponen tertentu, sehingga membentuk variasi antara nada dan lagu yang bisa memperjelas makna yang terkandung didalamnya.[17] Sedangkan menurut A. Maulana, Sakeco adalah suatu usaha yang dilakukan oleh manusia dalam mengembangkan bakat dan minat yang ada pada diri individu dalam belajar mengembangkan nilai-nilai seni atau budaya yang ada.
Sakeco adalah seni yang membuat orang terpesona dalam mendengar dan menyaksikan segala ekspresi yang dilakukan. Dengan demikian, secara istilah, sakeco adalah segala upaya yang dilakukan oleh manusia dalam berekspresi yang diperagakan dengan berbagai gaya, sehingga membuat orang terlena dan terpesona dengan segala lantunan yang begitu indah.[18]
Sakeco is played to celebrate the wedding party, the moriterious but not obligatory prophet or other ritual ceremony (Sakeco ini diadakan untuk memeriahkan upacara perkawinan dan upacara adat lainnya, seperti selamatan atau kenduri)[19]. Contoh:
Kusamula ke bismillah
Kusasuda ke wassalam
Nanke salamat parana
(Ku mulai dengan bismillah
Kuakhiri dengan wassalam
Semoga aku selamat)

Lamin no poka sia to
Ba ta moku bada sia
Tanya baeng saling sayang
(Bila belum tuan tahu
Kini kuberitahu tuan
Saya punya “saling sayang”)

Ku hormat kaling sia
No ku beang tenri tana
Mana ling sakit ku kaya
                        (Ku hormati kata-kata tuan
Tak kubiarkan jatuh ke tanah
Walau sakitpu ku berupaya).

3.      Bagandang

a.      Gandang Suling
Pria dan wanita menembangkan lawas dengan alunan suara berirama dan merdu berbarengan dengan suara suling mengikuti irama lawas yang ditembangkan. Gandang ini disaksikan kala sekelompok orang bergembira ria, karena panenan tahun ini menjadi baik.  Jika,  orang yang diliputi kesenangan lahir dan batin, gandang ini ditembangkan pertanda syukur kepada Allah SWT.[20] Dengan demikian, mutan nilai keagamaan juga sering muncul.

b.      Gandang Nuja
Sekelompok wanita menembangkan lawas beramai-ramai sembari menumbuk padi dalam suasana gotong royong yang berazaskan kekeluargaan. Gandang nuja (menumbuk padi), merupakan bantuan sukarela terhadap suatu keluarga yang akan menyelenggarakan kerja yang berhubungan dengan adat, misalnya pengadaan pangan menghadapi upacara perkawinan atau menghadapi kenduri. Bagandang ini biasanya dilakukan di halaman rumah kala terang bulan dan  disaksikan orang banyak. Para jejaka asyik mendengarkan lawas sembari mengerling gadis yang menjadi intaian batinnya. Bagadang yang dibarengi lawas nuja ini, hingga kini tetap bersemi di hati penduduk pedesaan.[21] Contoh :
Ajan sumpama kulalo
Kutarepa bale sia
Beleng ke rua e nanta

(Seandainya aku bertandang
Mampir d irumah adinda
Adakah gerangan belas kasihan)

Lamin tetapmo pang sia
Bose sangangkang let rea
Na’ beang bilu lakolin

(Jika pendirian sudah mantap
Berdayung arah laut yang besar
Jangan berpaling pada yang lain).


4.      Basaketa

Pernyataan kegirangan dari sekelompok penduduk pedesaan kala  gotong royong atau ketika melaksanakan permainan rakyat. Tampil seorang pria yang fasih lidahnya mengumandangkan lawas. Di sela-sela lengkingan suara merdu itu, anggota rombongan lainnya serempak menyambut dengan suara: -ho-ham-hoham-ho-ham dan seterusnya.[22] Bagi kampung yang berdekatan, apabila melakukan kerja gotong royong, misalnya membangun atau mendirikan rumah, maka saketa ini memegang peranan penting untuk membangkitkan gairah dan semangat kerja.
We can see saketa when the folklore celebrated like buffalo race, berempuk and other program related to the mutual assistance (saketa dapat kita saksikan saat berlangsungnya permainan rakyat, seperti kerapan kerbau, berempuk, dan acara yang berhubungan dengan kerja gotong royong lainnya.[23] Contoh:
Pangantan entek rawi ano     
Iring ling mayung satupang
Lamin no buta ba tempang
(Pengantin naik di sore hari
Di iringi oleh binatang tusa yang banyak
Kalau tidak buta, ya pincang)
Tuk tak ne mayong
Jontal satetak dadi payung[24]
(Tuk, tak suara kakinya rusa
Daunnya Jontal jadi paying)


5.      Ngumang

Seorang pria mengancungkan kedua tangannya sembari menembangkan lawas (seperti seorang penari) dengan suara merdu, sehingga ia menjadi pusat perhatian orang banyak. [25]
We can see ngumang when the people hold the buffalo race or barempuk on the rice-field (ngumang bisa kita jumpai saat orang melaksanakan keramaian kerapan kerbau atau ketika menyelenggarakan permainan berempuk dalam sawah yang diatur sedemikian rupa).[26]Contoh:
Ala e sai nongka to
Ma katoan lako aku
Tanya baeng sakap konde
(Siapa yang belum mengenal
Tanyalah pada ku
                        nilah pemilik “sakap konde”)

6.      Malangko

Malangko merupakan kegiatan yang dilakukan oleh dua orang antara pria dan wanita dengan bersoal jawab (berbalas) lawas. Orang memegang peranan dalam malangko ini adalah orang yang benar-benar menguasai lawas. Bagi yang kurang mampu menyatakan isi hatinya lewat lawas segera diambil alih oleh orang lain untuk melanjutkan langko.[27]
Malangko sering kita saksikan dalam rangkaian upacara perkawinan, kenduri, pada saat bulan purnama di desa, dan disaat muda mudi tengah bekerja di sawah, agar tiada terasa terik matahari menyengat kulit, sehingga  kelelahan fisik jadi sirna.
This is done as an entertainment is villages, after hard-work , done by women-villagers (makna budaya dari malangko adalah sebagai hiburan, syukuran setelah selesai bekerja keras).[28] Contoh:
Putra:   Kusamula ke bismillah
Kusasuda ke wassalam
Nan ke salamat parana
(Kumulai dengan bismillah
Ku akhiri dengan salam
Agar diri jadi selamat)

Putri:   Rungan rame boat sia
Bagentar tana Samawa
Bato mo nyata ku gita
(Khabarnya meriah pesta tuan
Bergetar tanah Samawa
Kini nyatalah sudah)

Putra:   Tu gita nyata ke mata
Riam mara din baringin
No bola ne bawa rungan
(Nyata terlihat oleh mata
Lebat bagaikan daun beringin
Tiada datang pembawa khabar)
Putri:   Rungan balong mu andi e
Kaling empang ko Jerewe
No monda dengan ku banding
(Berita kecantikanmu duhai sayang
Dari Empang sampai Jereweh
Tiada tanding tiada banding)[29]
7.      Badede
a.       Badede Adat
Babede ini khusus dilakukan dikalangan kaum bangsawan. Apabila berlangsungnya upacara perkawinan, maka badede ini dilaksanakan. Beberapa wanita menembangkan lawas sambil membunyikan kosok kancing (sejenis maracas). Hal ini dihajatkan, agar mereka yang menerima acara ini semangatnya tetap stabil. Tidak mudah diganggu mahkluk halus.[30]
b.      Badede Anak-anak
Badede ini dilakukan untuk meninabobok ananak-anak. Ini biasa dilakukan oleh seorang ibu terhadap anaknya atau seorang kakak terhadap adiknya. Badede ini menembangkan lawas dengan tujuan menidurkan sang anak. Kalau anak sudah tertidur, maka dengan sendirinya lawas bedede ini usai.[31] Contoh:
Ma tunung adi ma tunung
Meleng tunung ku beang me
Jangan jadi kembo kopang
(Mari tidur adik marilah tidur
Bangun tidur ku beri nasi
Campuran susu kerbau yang sehat)
Adi ode dalam bilek
Nyentik ima poyong mama
Sadua kita gamandi
(Adik mungil dalam buaian
Lentik jemari yang indah
Kita berdua wahai adinda)40


8.      Basual

Basual adalah tanya jawab dengan lawas. Seorang mengajukan soal lawas (menyebut sampiran dari sebuah lawas) dan yang mengetahui  segera menjawab soal tadi. Jelasnya, seorang mengemukakan sampiran lawas dan seorang lagi menjawab dengan isi lawas itu.
Basual make/ask the question. This ceremony wo can find when/put the house on, crop the rice in the rice-field or when the people die. Itis relax just to obstacle the time. (Basual adalah menyampaikan soal. Acara ini bisa kita jumpai saat membuat atap rumah, ketika memotong padi di sawah atau di tempat orang meninggal. Sifatnya santai, yaitu untuk perintang waktu belaka).[32] Contoh:
Ayam buri desa utan
Parak ke desa samamung
Ana badi kuring rate
Meporiri ku ta intan
Jarang ku bau batemung
Rosa dadi rusak ate
(Ayam burik desa utan
Dekat dari desa samamung
Ada badik ku di rate
Betapa caraku duhai saying
Sangat jarangku bertemu
Hancur luluhlah hatiku)
Lalo mancing ko pamulung
Entek lako desa pungka
Ku pandang desa malili
Alo kau manjeng urung
Ku klek no balik bungkak
Mu mandang ada si lili
(Pergi mancing ke pamulung
Naik ke desa pungka
Kupandang desa malili
Pergilah engkau bekas kekasih
Kupanggil tak menoleh
Kau kawin ada pengganti)[33]


III
SIMPULAN

Tradisi lawas Samawa sampai saat ini masih hidup dalam masyarakat etnis Samawa. Adapun cara penerusan dan penyebaran lawas melalui berbagai bentuk pertunjukan untuk dipertontonkan. Ada pula yang memang disampaikan pada saat orang-orang sedang bekerja di sawah, ladang, saat gotong royong membangun rumah, mengasuh anak, saat upacara adat, dan saat karapan kerbau[34]. Ada 8 ragam penyampain lawas etnis Samawa di kalangan masyarakatnya, yaitu:
1.      Balawas
adalah menembangkan lawas  secara beramai-ramai atau seorang diri.
2.     Basakeco
Yaitu,  dilakukan oleh para lelaki (dua pria disatu pihak dan dua pria dipihak lainnya) sambil menembangkan lawas.
3.      Bagandang ada dua jenis, yaitu:
a.       Gandang Suling
Pria dan wanita menembangkan lawas dengan alunan suara berirama dan merdu berbarengan dengan suara suling mengikuti irama lawas yang ditembangkan.
b.      Gandang Nuja
Sekelompok wanita menembangkan lawas beramai-ramai sembari menumbuk padi dalam suasana gotong royong yang berazaskan kekeluargaan.
4.      Basaketa
Pernyataan kegirangan dari sekelompok penduduk pedesaan kala  gotong royong atau ketika melaksanakan permainan rakyat. Tampil seorang pria yang fasih lidahnya mengumandangkan lawas. Di sela-sela lengkingan suara merdu itu, anggota rombongan lainnya serempak menyambut dengan suara: -ho-ham-hoham-ho-ham dan seterusnya.

5.      Ngumang
Seorang pria mengancungkan kedua tangannya sembari menembangkan lawas (seperti seorang penari) dengan suara merdu, sehingga ia menjadi pusat perhatian orang banyak. [35]

6.      Malangko
Malangko merupakan kegiatan yang dilakukan oleh dua orang antara pria dan wanita dengan bersoal jawab (berbalas) lawas.
7.      Badede ada dua jenis, yaitu:
a.       Badede Adat
Babede ini khusus dilakukan dikalangan kaum bangsawan. Apabila berlangsungnya upacara perkawinan, maka badede ini dilaksanakan. Beberapa wanita menembangkan lawas sambil membunyikan kosok kancing (sejenis maracas).
b.      Badede Anak-anak
Badede ini dilakukan untuk meninabobok ananak-anak.
8.      Basual
seorang mengemukakan sampiran lawas dan seorang lagi menjawab dengan isi lawas itu.


DAFTAR PUSTAKA

Goverment Tourism Service of Sumbawa. 1997. The Regional Art of The Principal Tourism Object of Sumbawa. Sumbawa.

Mustaqiem. 1993. Kedudukan dan Fungsi Lawas dalam Masyarakat Sumbawa Di Kecamatan Plampang.

Saleh, Muhammad. 2007. Sastra Lisan (Lawas) Etnis Samawa dan Muatan Nilai Keagamaannya (Jurnal Penelitian Keislaman, Vol. 4, No. 1, Desember).

Sumarsono et. Al. 1985. Kamus Sumbawa-Indonesia. Jakarta : Pusat Pembinaan dan Penelitian Bahasa. Mataram: FKIP Universitas Mataram.

Suyasa, Made. 2004.  Seni Balawas Dalam Masyarakat Etnis Samawa. Denpasar.


Tim Penyusun Kamus Besar Bahasa Indonesia. 1989. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarata : Balai Pustaka.



[1] Mattaliti, et.al.,  2002: 1 dalam Muhammad Saleh, 2007: 120.
[2] Muhammad Saleh, 2007: 120.
[3] Muhammad Saleh, 2007: 120.
[4] Goverment Tourism Service of Sumbawa, the Regional Art of The Principal Tourism Object of Sumbawa (Sumbawa : tp., 1997 : 12).

[5] Tim Penyusun Kamus Besar Bahasa Indonesia, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarata : Balai Pustaka, 1989: 504).
[6] Goverment Tourism Service of Sumbawa, the Regional Art of The Principal Tourism Object of Sumbawa (Sumbawa : tp., 1997 : 12).
[7] Sumarsono et. al. Kamus Sumbawa-Indonesia (Jakarta: Pusat Pembinaan dan Penelitian Bahasa, 1985 :  75).
[8]  Dinullah Rayes,  2006 dalam Muhammad Saleh. 2007. Sastra lisan (lawas) etnis samawa dan muatan nilai keagamaannya.. Jurnal Penelitian Keislaman Vol 4, No. 1, hal 120.
[9]  Maswarang, 2006  dalam Muhammad Saleh. 2007. Sastra lisan (lawas) etnis samawa dan muatan nilai keagamaannya.. Jurnal Penelitian Keislaman Vol 4, No. 1, hal 120.
[10]  Mustakim Biawan,  2006 dalam Muhammad Saleh. 2007. Sastra lisan (lawas) etnis samawa dan muatan nilai keagamaannya.. Jurnal Penelitian Keislaman Vol 4, No. 1, hal 120.
[11]  Lalu Manca, 1984: 34 dalam Mustaqiem, 1993: 10 (skripsi).
[12] Muhammad Saleh, 2007: 133.
[13] Hasanuddin, 2006 dalam Muhammad Saleh, 2007: 133.
[14] Government Tourism Service of Sumbawa, he Regional Art the Principal Tourism Object of Sumbawa (Sumbawa: tp., 1997: 23).
[15] Karisma Susanto,  2006 dalam Muhammad Saleh, 2007: 134.
[16] Andre Maulana,  2006. dalam Muhammad Saleh, 2007: 135.
[17] Mustakim Biawan, 2006 dalam Muhammad Saleh, 2007: 135.
[18] A. Hijaz, 2006 dalam Muhammad Saleh, 2007: 135.
[19] Government Tourism Service of Sumbawa, he Regional Art the Principal Tourism Object of Sumbawa (Sumbawa: tp., 1997: 24).

[20] Suyasa (2004:  92 – 93).
[21] Hasanuddin, 2006 dalam Muhammad Saleh, 2007: 136.

[22] Suyasa (2004:  76).
[23] Ibid,  2006 dalam Muhammad Saleh, 2007: 137.
[24] Suyasa (2004:  77).

[25] Muhammad Saleh, 2007: 137.
[26] Goverment, 2004:  27.
[27] Suyasa (2004:  78).
[28] Hasanuddin, 2006 dalam Muhammad Saleh, 2007: 138.

[29] Suyasa. Seni Balawas dalam Masyarakat Etnis Samawa ( 2004: 81).
[30] Hasanuddin, 2006 dalam Muhammad Saleh, 2007: 139.
[31] Ibid, 2006 dalam Muhammad Saleh, 2007: 139.
[32] Government Tourism Service of Sumbawa, he Regional Art the Principal Tourism Object of Sumbawa (Sumbawa: tp., 1997: 30).


[33] Suyasa. Seni Balawas dalam Masyarakat Etnis Samawa ( 2004: 80).
[34] Muhammad Saleh, 2007: 133.
[35] Muhammad Saleh, 2007: 137.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar